Popular Post

Posted by : Unknown Selasa, 16 April 2013


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pengampun serta Maha Penerima Taubat bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dan mohon ampunan-Nya. Berkat rahmat dan Hidayah-Nya serta Inayah-Nya pulalah, penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak WAHYU ABDUL JABAR, M.Hi selaku dosen pengampu mata kuliah Hadist Ekonomi 2. Yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Dan mudah-mudahan Allah Swt. melindungi dari kesalahan diri kami dan dari keburukan amal kami. Karena siapa saja yang disesatkan oleh-Nya maka tidak seorang pun yang bisa memberi petunjuk baginya. Dan siapa saja yang diberi petunjuk oleh-Nya maka tidak seorang pun dapat menyesatkannya.
Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pahlawan revolusioner dunia, Putra Abdullah, Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita ke jalan yang lurus.
Penulis sadar, bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik pembaca yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Metro,..april 2013
                  Penyusun


Kelompok 5




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3           
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................... 4
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 4
C.    Tujuan......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wadi’ah................................................................................... 5           
B.     Hadist Tentang Wadi’ah.................................................................... ....... 7
C.    Hikmah Wadi’ah................................................................................ ..... 12
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 12



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT dalam QS.An-Nissa’:58 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya...,...jika kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...”(al-Baqarah: 283)[1]
Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasulullah telah bersabda, Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (HR.Thabrani) Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman teleah melakukan ijma’ (konsensus) terhadap legitimasi al-wadiah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr.Azzuhaily dalam al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan wadi’ah
2.      Bagaimana hukum dan konsekuensi wadi’ah
3.      Apakah hikmah wadi’ah
C.      Tujuan
Mengetahui wadi’ah beserta hukum, konsekuensi dan hikmah terwujudnya wadi’ah.





BAB II
PEMBAHASAN
بسم الله الرحمن الرحيم
A.      Pengertian Wadi’ah

Barang titipan dalam bahasa fiqh dikenal dengan sebutan wadi’ah, menurut bahasa wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ahialah memberikan, makna yang kedua wadi’ahdari segi bahasa adalah menerima, seperti seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, aykni memeberikan harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.[2]
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hokum, yang harus dijaga dan dukembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[3]
Wadi’ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah(2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi’ah terhadap dalam fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.[4]
Menurut istilah dijelaskan oleh para ulama’ berikut:
1.         Menurut Malikiyah wadi’ah memiliki 2 arti, pertama:


“Ibrah perakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”’.
Kedua:


“Ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindah pada penerima titipan”.
2.         Menurut Hanafiyah wadi’ah berarti al-Ida’, yakni:




“Ibbarah seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.
Makna keduanya ialah sesuatu yang dititipkan, yakni:

“Sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpecaya supaya dijaganya:.
3.          Menurut Syafi’iyah


Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititpkan”.
4.         Hanabilah mengatakan wadi’ah adalah:


Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas(tabaru’).
5.          Menurut Hasbi Ash-Shadiqie


“Akad yang intinya minta tolong pada orang dalam memelihara harta penitip”.
6.         Menurut Syeikh Syihab al-Din al-Qalyubi wa Syeikh ‘Umarah:


“Benda yang diletakkan pada orang lain untuk dipeliharanya”.
7.         Menurut syeikh Idris Ahmad al- Bajuri:


“Akad yang dilakukan untuk penjagaan”.
8.         Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan kepada seseorang supaya barang itu dijaga dengan baik.
Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.[5]
Selain itu dalam melakukan transaksi penitipan harta, hendaknya melakukan penetapan jeJnis titipan. Memilih orang yang dapat dipercaya saat penitipan sehingga orang tersebut dapat lebih amanah ataukah melakukan perjanjian disepakati yang mewajibkan bagi keduanya untuk saling bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan. Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Imran(3):75[6]
B.       Hadist Tentang Wadi’ah
1.      Keharusan menjaga wadi’ah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
أَدِّ الأَمَانَةَ = Tunaikanlah amanah
Maksudnya:
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan :
a)    Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
b)   Tidak memungut biaya pemeliharaan
c)    Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
وَلاَ تَخُنْ = Dan janganlah kamu mengkhianati
Adapun kriteria kelalaian antara lain:
a)    Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan yang memilikinya
b)   Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
c)    Menyia-nyiakan barang titipan
d)   Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang jelas
e)    Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
f)    Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang rusak dan hilang.
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :[7]
a)    Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada Allah. Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan hadits:
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيه
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

b)   Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya dia satu-satunya
c)    Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang titipan
d)   Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap barang titipan itu. 

2.      Menanggung barang titipan
Muuda' (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni.  
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ غَيْرِ المُغِلِّ ضَمَانٌ
"Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung."[8]               
Amr bin Syu'aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَضَمَانَ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang dititipkan wadii'ah, maka dia tidaklah menanggungnya." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Daruquthni disebutkan:
لاَ ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
"Orang yang diamanahi tidaklah menanggung." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7518)
Abu Bakar radhiyallahu 'anhu pernah memutuskan tentang wadii'ah yang berada dalam sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia (orang yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam  harta dari harta milik bani Mush'ab, lalu ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan, "Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang diamanahi." Lalu Abu Bakar berkata, "Saya telah mengetahui bahwa saya tidak menanggung, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa diriku sudah tidak amanah", lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.

Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga. Jika barang titipan berupa hewan, maka muuda' harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda' harus menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping dia harus menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum sebagai pemenuhan terhadap hak Allah Ta'ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan.
3.      Aplikasi wadi’ah
Di zaman sekarang ada istilah wadaa'I mashrafiyyah (penitipan di bank), yaitu dengan menitipkan sejumlah uang di bank sampai waktu tertentu atau tidak dibatasi, kemudian pihak bank mengelola uang yang dititipkan ini, lalu memberikan kepada pemiliknya bunga yang tetap, maka dalam kondisi ini wadi'ah tersebut menjadi  qardh (pinjaman) karena bank jadi memiliki uang itu, digantungkan kepadanya jaminannya dan ia (pihak bank) berjanji akan mengembalikan serupa dengannya ketika diminta. Ini termasuk bentuk riba. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslim tidak terjun di dalamnya. Adapun penitipan tanpa bunga seperti yang disebut dengan Al Hisab Al Jaariy, maka tidak apa-apa, karena ia tidak mengambil lebih dari pokok hartanya. Tetapi jika seseorang dipaksa mengambil kelebihannya dan ia terpaksa menyimpan di bank-bank seperti itu, dimana ia akan terkena  madharrat jika meninggalkannya, maka ia mengambil kelebihan itu dan mengeluarkannya untuk maslahat umum kaum muslimin.
Akad pola titipan Al-Wadi’ah terbagi dua[9], yaitu al-wadi’ah yad al-amanah dan al-wadi’ah yad adh-dhamanah.
Ø  Al-wadiah yad amanah adalah pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Ø  Al-Wadi’ah yad adh-dhamanah adalah pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan barang titipan atau uang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapat bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan intensif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak baertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakaan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor diluar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis: “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang atidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut”
Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivits perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan damikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggungjawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.[10]
Mengacu pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfatkan al-wadi’ah untuk tujuan :
Ø  currunt account (giro)
Ø  saving account (tabungan bejangka). [11]
beberapa ketentuan yad adh-dhamanah, antara lain:
Ø  penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang dititipkan
Ø  penitip berhak mengetahui bagaimana assetnya diinvestasikan
Ø  penyimpanmenjamin hanya nilai pokok jika modal berkurang karena rugi
Ø  untung dapat dibagi sebagai hisbah(hadiah)
Ø  penitip tidak memilii suara[12]
Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan, si pemyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.  Sungguhpun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secra advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafie kembali kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan; yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR Muslim).
Dari semangat hadits diatas, jelaslah bahwa bonus sama sekalli berbeda dari bunga, baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya munngkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai seku bunga. Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebgai indikator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakkin efisien pula pemanfatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntunngkan. Dewasa ini, banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan direksi menetukan besarnya bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.
C.      Hikmah Wadi’ah
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut:
1.         Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar dapat menjalankan amanah.
2.         Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah. Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.



BAB III
PENUTUP
B.       Kesimpulan
Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.[13]
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. Hukum wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu : Sunnah, wajib, haram, dan makruh. Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga.
Ø  Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut: Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar dapat menjalankan amanah.
Ø  Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah. Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.




DAFTAR PUSTAKA
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah, Gema Insani, Jakarta : 2001
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2008
Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo, Jakarta : 2002



[1] Antonio Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah, Gema Insani, Jakarta:  2007., hal.86
[2] Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo, Jakarta : 2002., hal. 179
[3] Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah, Gema Insani, Jakarta : 2001., hal.85
[4] Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011., hal.85
[5] Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo, Jakarta : 2002., hal. 182
[6] Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011., hal.85
[7] Suhendi Hendi, Op., Cit hal. 183
[8] Ibid. hal.182
[9] Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2008., hal.42
[10]Madani, Op.Cit., hal. 86
[11] Ibid. hal. 88
[12] Ascarya, Op.Cit., hal. 44
[13] Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo, Jakarta : 2002., hal. 182

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © umaizah - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -